Ditulis Oleh : Opi M. Adiwijaya |
Abstrak Berhadapan dengan teks sastra pada dasarnya menempatkan pembaca sebagai apresiator. Dia berharap mengetahui isi teks tersebut, selanjutnya mencoba memahami, menikmati, mengambil manfaat, serta menilainya. Inilah prinsip salah satu pembelajaran sastra, yaitu peserta didik mampu mengapresiasi teks sastra yang terhidang di hadapannya. Untuk mencapai hasil pembelajaran seperti itu, strategi bertanya sangat tepat untuk digunakan. Guru harus mampu membuat pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan juga menanamkan kemampuan membuat pertanyaan kepada para peserta didiknya secara baik. Dengan demikian diharapkan akan timbul kesadaran peserta didik saat berhadapan dengan teks sastra. Strategi bertanya akan dapat meningkatkan respon peserta didik terhadap teks sastra. A. Pembuka Sastra merupakan sebuah materi pembelajaran yang selalu hadir dalam setiap kurikulum. Jika dalam Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004 keberadaan materi sastra diterakan secara eksplisit, maka dalam Kurikulum terbaru atau KTSP materi sastra dilesakkan atau diimplisitkan tersebar dalam ranah empat keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini menyangkut masalah "teknis" sebagai penegasan bahwa arah pembelajaran bahasa Indonesia dikembalikan kepada fungsi hakiki bahasa sebagai alat komunikasi. Belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Kemahiran berkomunikasi ditandai oleh kemahiran mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Sementara itu, sastra -setidaknya sampai hari ini- dalam pembelajaran bahasa Indonesia merupakan "materi" yang menjadi aspek penunjang keterampilan berbahasa. Materi sastra merupakan materi gandulan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini, saya tidak akan memperdebatkan "wujud" keberadaan materi sastra dalam kurikulum. Tulisan ini lebih mengarah pada sebuah upaya menciptakan iklim pembelajaran sastra yang bermakna. Keberadaan materi sastra dalam kurikulum tentu saja merupakan sebuah indikasi bahwa sastra merupakan suatu materi yang penting yang harus dikuasai peserta didik sebagai ciutan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang salah satunya meciptakan manusia Indonesia yang berakhlak. Adakah nilai moral dalam sastra? Sekali lagi untuk menjawab ini perlu kajian yang mendalam. Namun, untuk sementara dan tanpa argumentasi yang panjang, saya menjawab, "Ada!" Itulah sebabnya sampai hari ini, sastra tidak dihapus sebagai materi ajar untuk siswa SD sampai dengan SMA atau yang sederajat. Dalam Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah menurut KTSP, terdapat standar kompetensi membaca teks sastra. Membaca teks sastra merupakan salah satu sasaran pembelajaran sastra yaitu apresiasi sastra (sasaran lainnya yaitu ekspresi dan kreasi). Membaca suatu teks -termasuk teks sastra- pada dasarnya mencari "informasi" yang terkandung dalam teks tersebut. Selanjutnya, pada tingkatan yang lebih tinggi, pembaca "menilai" teks tersebut. Salah satu cara yang dilakukan pembaca adalah membuat pertanyaan-pertanyaan tentang teks yang (akan) dibacanya. Tulisan ini akan mencoba meningkatkan respon peserta didik terhadap bacaan sastra dengan cara guru menyediakan pertanyaan-pertanyaan dan juga mengajak peserta didik untuk berlatih membuat pertanyaan-pertanyaan. B. Mengapa Bertanya? Seperti telah dikemukakan pada pembuka tulisan ini, salah satu cara belajar memahami teks yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berpangkal dari teks. Guru dituntut mampu membuat sederet pertanyaan untuk menggiring peserta didik memahami tema dan isi sebuah wacana yang ujungnya akan berguna dalam mengembangkan diskusi. Pertanyaan-pertanyaan seyogyanya bisa dijawab secara individual, kelompok, atau bersifat interaktif dengan guru. Guru harus bisa merangkum jawaban-jawaban siswa agar benar-benar "bebas namun terkontrol". Ini sebenarnya merupakan ciri terpenting dalam pembelajaran sastra. Untuk dapat melakukan semua itu, guru dituntut memiliki strategi bertanya atau membuat pertanyaan yang berlandaskan pada pendekatan terhadap teks sehingga pertanyaan-pertanyaan itu "produktif". Peserta didik harus benar-benar "terlibat" dalam teks sehingga mereka berkeinginan untuk mengetahui isi teks itu lebih banyak. Tugas guru yaitu mengembangkan serangkaian sikap mental dengan memberikan perhatian khusus dan juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang "tepat" untuk mengembangkan daya imajinasi agar peserta didik kreatif. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan pertanyaan. Pertama, prinsip strategi bertanya yang pokok yaitu untuk membantu para peserta didik pada pemahaman yang lebih tinggi terhadap bacaan, khususnya teks sastra. Kedua, divisi yang berguna dapat dibuat dalam pertanyaan-pertanyaan yang low-order dan high-order. Ketiga, pertanyaan selanjutnya yakni pertanyaan yang terkait pada pertanyaan yang terbuka dan tertutup. Upaya memahami teks dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dasar. Pertanyaan ini berkaitan dengan sejumlah fakta yang ada dalam bacaan. Setelah itu, dalam menghadapi teks, guru harus menetapkan tujuan pertanyaan. Lebih jauh, haruslah memperhatikan konteks "arti" pertanyaan. Dengan demikian diharapkan cara ini akan mengembangkan respon pembaca yang memperhatikan pendekatan-pendekatan kepada tema. Akhirnya, peserta didik diajak untuk menghubungkan teks sastra dengan dunia pribadi mereka serta dunia di sekitar mereka. Studi akademis tentang bacaan sastra telah membangkitkan sokongan kesastraan yang pesat. Misalnya, untuk pertanyaan-pertanyan ujian dan jawaban-jawaban yang akan memuaskan penguji. Yang sekarang disodorkan adalah sebuah upaya mengembangkan respon pembaca terhadap karya sastra. Gagasan ini diungkapkan Carter & Long (1991) yang intinya merupakan sebuah alternatif usaha pembaca dalam meningkatkan penjelajahan merespon bacaan sastra. Dalam upaya meningkatkan respon pembaca terhadap bacaan sastra, tulisan Carter & Long yang sangat bermanfaat untuk dibaca antara lain: (1) pendekatan-pendekatan terhadap tema; (2) membedakan tema dengan plot (disertai contoh langkah pelaksanaannya); (3) menghubungkan teks sastra dengan dunia pribadi peserta didik; (4) peran guru dalam mengaktifkan pengalaman; (5) menghubungkan bacaan dengan dunia di sekitar pembaca; dan (6) memahamai latar belakang peserta didik secara individual. C. Apa Sajakah Problematika di Lapangan? Konsep di atas tampaknya akan mudah diterapkan. Namun, pekerjaan itu sebenarnya merupakan pekerjaan yang sulit. Menurut saya, minimal ada tiga butir yang menjadi kendala di lapangan yaitu: (1) membuat pertanyaan bukanlah pekerjaan yang mudah bahkan mungkin dalam hal-hal tertentu akan lebih sulit dari pada menjawab pertanyaan; (2) pada umumnya kelas-kelas di Indonesia adalah kelas-kelas gemuk (terdiri atas 40-50) yang tentu saja akan sulit mengontrol jawaban serta pelatihan pembuatan pertanyaan; dan (3) latar belakang pengalaman peserta didik yang heterogen karena tingkat sosial keluarga, suku, budaya, agama, dan lainnya yang berbeda sehingga akan menyulitkan guru dalam mengaitkan isi teks dengan latar belakang pribadi peserta didik. D. Bagimanakah Kaitan Bertanya dengan Pembelajaran Sastra? Gani (1988) mengatakan bahwa memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh pengalaman sastra merupakan tujuan utama pembelajaran sastra, dengan sasaran akhir: mampu mengapresiasi cipta sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu diperlukan strategi yang tepat. Namun, strategi apa pun yang dipilih harus berlandaskan pada hakikat dan pendekatan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah kita antara lain: CBSA, proses, humanistaik, serta respon dan analisis. Pendekatan CBSA dan (keterampilan) proses merupakan bagian dari pelaksanaan kurikulum yaitu aktivitas belajar mengajar di kelas. Dua pendekatan ini mengisyaratkan bahwa aktivitas yang terjadi di dalam kelas merupakan "milik" peserta didik. Dalam pelaksanaan itu, peserta didik diharapkan terlibat secara fisik dan mental dalam memecahkana masalah yang dipelajarinya. Tentang pendekatan humanistik, Gani (1988) menggarisbawahi bahwa membaca sastra memberikan prioritas utama pada upaya memberikan warna yang indah pada kehidupan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pembelajaran sastra dalam kondisi tradisional. Dalam setiap kelas, tampak upaya peserta didik hanya untuk kepentingan sastra, bukan sastra untuk kepentingan peserta didik. Tujuan yang seperti itu mengakibatkan peserta didik masuk ke dalam perangkap analisis wacana. Analisis baris demi baris karya sastra sehingga peserta didik tidak pernah merasakan keagungan karya sastra. Apalagi, penekanan terus menerus pada fakta dan sudut pandang konvergen. Selanjutnya dipaparkan bahwa pengajaran sastra sebaliknya harus berpola divergen yang kebermaknaannya terutama dalam hubungan sastra dengan masyarakat, daripada hubungan sastra demi sastra itu sendiri. Jadi, sastra bukan untuk sastra tetapi sastra untuk perkembangan pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Karena sastra berkaitan dengan masyarakat, maka sastra memfokuskan pada kesadaran etnik (karena bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa) dan moral. Selain itu, pembelajaran sastra pun diharapkan dapat membantu peserta didik mengembangkan kesadaran sosiologi dan psikologi, bahkan lebih jauh sastra pun merasuk pada dunia ideologi (keperacayaan dan gagasan), etika (keadilan yang puitis), epistemologi (hakikat, kelebihan dan keterabatasan dalam proses mengetahui sesuatu), ontologika (kenyataan dalam cipta sastra), serta struktural (diksi, gaya, dan konversi). Yang ditekankan oleh Gani (1988) bahwa pendekatan ini memfokuskan diri pada respon peserta didik (pembaca). Salah satu upaya menciptakan pembelajaran sastra yang berfokus pada respon pembaca yakni mencoba menggali nilai-nilai yang ada pada teks dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tulisan Carter & Long (1991) ini bisa dijadikan strategi pembelajaran sastra yang kita anut. Yang menarik dari tulisan mereka ini adalah bahwa tujuan strategi bertanya yang utama dalam kelas adalah untuk membantu guru pada pemahaman yang lebih tinggi terhadap bacaan khusus dan sifat sastra itu secara umum. Divisi yang berguna dapat dibuat dalam pertanyaan-pertanyaan yang low-order dan high-order. Pertanyaan yang low-order merupakan pertanyaan untuk mendapatkan kembali informasi faktual, pengertian harfiah, dalil dasar atau isi bacaan yang bermanfaat dalam membantu orientasi pendahulu terhadap bacaan. Pertanyaan high-order kurang berkait dengan pengertian-pengertian harfiah atau isi faktual, tetapi lebih berkait pada keterlibatan respon, keikutsertaan, kepengetahuanan dan kepengalaman pembelajar itu sendiri terhadap dunia. Klasifikasi pertanyaan yang terkait lainnya, masuk ke dalam kategori pertanyaan terbuka dan tertutup. Pertanyaan-pertanyaan yang terbuka cenderung akan bebas untuk eksplorasi dan penyelidikan. Pertanyaan tertutup membutuhkan respon yang akurat berdasarkan informasi. Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik pernyataan bahwa pertanyaan yang tertutup dan low-order (tingkat rendah) memusatkan diri pada isi faktual bacaan. Sementara itu, pertanyaan terbuka dan high-order (tingkat tinggi) memusatkan pada isi bacaan yang simbolis atau imajinatif pada konteks pengertaian yang dimunculkannya. Brown (1975) menyebutkan bahwa pengajuan pertanyaan dalam proses belajar mengajar merupakan sebuah "kewajiban" bagi guru. Namun, pertanyaan yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan sebuah pendekatan untuk menguak dan memahami teks sastra. Membuat pertanyaan bukanlah pekerjaan yang mudah bagi guru, apalagi siswa. Demikian pula dengan menjawab pertanyaan jelas merupakan pekerjaan berat khususnya bagi siswa. Untuk itulah diperlukan sikap bijak dari guru pada saat mendengarkan jawaban atau pertanyaan dari siswa. Djajadisastra (1985) merinci ciri guru yang bijak merespon pertanyaan atau penjawaban siswa yaitu: (1) selalu menghargai pertanyaan dan atau penjawaban siswa; (2) bersikap terbuka terhadap pertanyaan dan atau penjawaban yang bagaimana pun; (3) memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk mengoreksi pertanyaan dan atau penjawaban yang dianggap salah atau kurang tepat dari temannya; (4) menyadari kemungkinan adanya kesalahan pada diri sendiri jika kebetulan menghadapi peserta didik yang tidak dapat menjawab atau mengajukan pertanyaan; dan (5) jawaban yang kurang logis atau tepat dari peserta didik dapat dijadikan bahan introspeksi bagi guru untuk lebih giat membimbing para peserta didiknya. E. Bagaimanakah Solusinya? Strategi bertanya yang berlandaskan pada pendekatan teks merupakan salah satu strategi yang menarik untuk diterapkan pada pembelajaran apresiasi sastra. Namun dalam kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Problematika pertama, berkenaan dengan kemampuan peserta didik dalam membuat pertanyaan. Kemahiran membuat pertanyaan yang berlandaskan pada teks yang (akan) dibaca tidak datang dengan sendirinya. Kemampuan itu baru bisa dimiliki peserta didik jika mereka terus-menerus berlatih. Pada tahap awal pembelajaran sastra, pertanyaan-pertanyaan untuk meningkatkan respon siswa terhadap teks sastra dibuat oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan tertutup dan low-order serta pertanyaan-pertanyaan terbuka dan high-order harus benar-benar tampak perbedaannya. Pemberian contoh oleh guru berupa butir-butir pertanyaan saat peserta didik belajar akan menjadi sebuah acuan. Peserta didik akan beranalogi dengan membuat butir-butir pertanyaan yang "mirip" atau "serupa" saat mereka kelak berhadapan dengan teks sastra yang (akan) dibacanya. Teknik pembelajaran seperti ini sebenarnya merupakan aplikasi dari teknik "copy of the master" (meniru model). Banyak pakar berpendapat teknik ini cukup baik untuk pembelajaran menulis (Marahimin, 1998) Memang, telah saya kata berkali-kali bahwa membuat pertanyaan bukanlah pekerjaan mudah, apalagi pertanyaan yang harus memenuhi kriteria "terkontrol namun bebas" sesuai karakter teks sastra. Namun, ada satu hal yang harus diingat bahwa mengajukan pertanyaan pada dasarnya mengharapkan jawaban yang "pas". Untuk itu, pertanyaan harus bisa ditangkap atau ditafsirkan secara tepat oleh yang ditanya. Djajadisastra (1985) memberikan "tips", sebelum membuat pertanyaan, penanya terlebih dahulu harus: (1) mengerti semua makna kata yang dipergunakan dalam pertanyaan yang akan diajukan; (2) mendapat cukup waktu untuk menetapkan letak problema pertanyaan itu; dan (3) mendapat cukup kesempatan untuk menganalisis, mengolah, menyimpulkan, dan merumuskan jawaban yakni adanya kesesuaian waktu dengan "dangkal" dan "dalamnya" jawaban. Mengingat hal di atas, maka pertanyaan yang baik memiliki ciri: (1) pertanyaan hendaknya bersifat mengajak atau merangsang orang yang ditanya untuk berpikir; (2) kata-kata yang digunakan untuk menyusun pertanyaan harus tepat sehingga kalimat tanya tersebut ekamakna; (3) setiap pertanyaan (sebaiknya) hanya berisi satu problema; (4) kalimat yang digunakan (diusahakan) singkat-singkat; (5) pertanyaan harus memiliki tujuan yang jelas; dan (6) pertanyaan harus sesuai dengan taraf kecerdasan yang ditanya. Jelaslah bahwa diperlukan teknik yang tepat serta kesabaran yang tinggi dari guru. Apapun alasannya, siswa harus "dipaksa" memiliki keterampilan bertanya dalam menghadapi teks sastra. Pertanyaan yang dibuat seorang pembaca akan mengarahkan yang bersangkutan untuk memahami teks tersebut. Di sini, guru dituntut memiliki pengetahuan yang luas tentang teknik membuat pertanyaan. Tahapan-tahapan tingkatan pertanyaan yang terkenal dalam Taksonomi Bloom juga bisa dijadikan titik tolak dan pertimbangan dalam menyusun pertanyaan. Penguasaan pengetahuan tentang pembuatan pertanyaan akan sangat menunjang tugas guru dalam membimbing pembelajaran yang dilakukan peserta didik. Seperti telah dikemukakan, guru harus membuat contoh pertanyaan-pertanyaan yang tertutup dan terbuka atau yang low-order dan high-order. Namun di sini guru harus waspada bahwa peserta didik ini sedang belajar apresiasi sastra bukan keterampilan membuat pertanyaan. Agar pembelajaran tidak terbelokkan maka guru perlu pengintegrasian dengan kompetensi dasar lain, misalnya menulis. Maksudnya, selama peserta didik berlatih mengapresiasi karya sastra (membaca teks sastra), maka guru pun sekaligus membimbing peserta didik pun berlatih membuat pertanyaan-pertanyaan. Dengan demikian, guru dapat "menyelam sambil minum air". Guru bisa menanamkan kemampuan membuat pertanyaan kepada peserta didik yang sekaligus dijadikan sebagai "alat" untuk menghadapi teks sastra. Dengan demikian diharapakn respon peserta didik terhadap bacaan sastra akan meningkat. Problematika kedua yaitu "kelas gemuk". Sistem belajar dalam kelompok besar kuranglah efektif. Perhatian pada setaiap individu peserta akan berkurang atau bahkan akan terjadi tidak adanya perhatian yang yang merata. Kelas "gemuk" akan kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengekspresikan diri. Untuk mengatasi hal ini, salah satu jalan keluarnya yaitu membentuk kelompok-kelompok kecil. Schwartz (1979) dan Gani (1988) mengungkapkan bahwa dengan kelompok kecil, peserta didik akan mempunyai kesempatan yang cukup banyak untuk ikut berpartisipasi dalam pembelajaran. Biasanya yang akan terjadi antara lain: (1) peserta didik yang pemalu lebih berminat di dalam kelompok kecil: (2) sebagian besar peserta didik dapat terlihat lebih simultan; (3) mudah bertukar pikiran antar sesama peserta didik; (4) mudah meningkatkan disiplin dan tanggung jawab; (5) iklim kelas akan santai sehingga peserta didik lebih dapat memfokuskan diri pada masalah yang dipelajarinya; (6) akan terjadi "persaingan" antarkelompok sehingga peserta didik termotivasi untuk belajar lebih baik; dan (7) guru lebih bebas memantau setiap peserta didik. Dengan dibentuknya kelompok-kelompok kecil maka layanan individual oleh guru akan lebih mudah. Pertama, guru dapat mengajukan pertanyaan yang ditujukan untuk semua kelompok baik jenis low-order mauapun high-order berdasarakan isi bacaan. Selanjutnya, sambil berkeliling, guru dapat menggiring setiap kelompok melalui pertanyaan-pertanyaan pancingan sesuai dengan permasalahan yang berkembang dalam setiap kelompok saat menghadapi teks. Biasanya, pertanyaan yang disodorkan adalah pertanyaan terbuka atau high-order. Dengan cara seperti itu, guru pun akan lebih mudah mengecek peserta didik yang aktif dan kurang aktif. Bahkan jika ada pertanyaan dari salah satu anggota kelompok, maka anggota kelompok lainnya bisa menjawabnya. Dengan demikian akan tejalin interaksi antarpeserta didik maupun peserta dengan guru. Tentu saja, untuk menghindari kecemburuan kelompok lainnya, pembagian waktu pantauan" untuk setiap kelompok harus merata. Paparan di atas, sebenarnya juga bisa dijadikan solusi untuk problematika ketiga yaitu kesulitan dalam menghubungkan antara isi teks sastra dengan dunia pribadi dan sekeliling siswa. Dalam pertanyaan high-order maupun terbuka peserta didik dengan bimbinmgan guru dapat mengaitkan isi teks dengan "kondisi" tertentu yang mungkin menjadi ciri dunia peserta didik secara universal. Selanjutnya, guru dapat mengarahkan siswa dengan cara "menukikkan" pertanyaan-pertanyaan yang bisa "mengorek" dunia pribadi peserta didik. Tidak ada salahnya, nasihat Gani (1988) dapat pembentukan kelompok kecil guru memvariasikannya, antara lain: (1) kelompok dengan seorang pemimpin, untuk memastikan fungsi penghuni kelompok; (2) kelompok tanpa pemimpin; (3) kelompok sosialisasi untuk membina persahabatan di antara anggota kelompok agar lebih akrab; (4) kelompok pasangan; (5) kelompok untuk keterampilan dan kemampuan khusus; serta (6) kelompok remedi. Tentu saja, guru bisa memilih salah satu teknik tersebut sesuai dengan kebutuhan kelas. F. Penutup Intisari dari dari tulisan ini yaitu strategi bertanya merupakan sebuah alternatif yang cocok untuk pembelajaran apresiasi sastra yang berlandaskan pada pendekatan humanistik serta respon dan analisis seperti yang kita anut sekarang. Strategi bertanya akan mengarahkan sasaran pembelajaran yang sesuai dengan penciptaan kompetensi dasar yang akan dimiliki peserta didik. Itulah sebabnya guru harus bisa membuat pertanyaan untuk low-order dan high-order maupun yang bersifat tertutup dan terbuka. Strategi bertanya ini akan meningkatkan respon peserta didik terhadap teks sastra. Selanjutnya, keterampilan bertanya merupakan sebuah keterampilan yang harus dimiliki peserta didik. Kemampuan ini akan sangat berguna saat yang bersangkutan berhadapan dengan teks -termasuk teks sastra- kelak. Sebelum membaca sebuah teks, mereka dengan sadar akan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan kebutuhan yang akan ditimba dari teks tersebut. Rujukan Brown, G. (1975). Micro-teaching: A Program of Teaching Sklils. London: Methuen & Co. Ltd. Carter, R & Long, M.N. (1991). Teaching Literature. New York : Longman Depdiknas (2006). Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan No. 23 Th. 2006). Jakarta: PT Binatama Raya Djajadisastra, J. (1985). Metode-metode Merngajar. Bandung: Angkasa Fokkema, D.W. & Ibsch, E.K. (1998). Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Gani, R. (1988). Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud Schwartz, S. (1979). Teaching Adolescent Literatur: A Humanistic Approach. New Jersey: Hayden Book Company, Inc. |
Senin, 19 Desember 2011
STRATEGI BERTANYA UNTUK MENINGKATKAN RESPON PESERTA DIDIK TERHADAP BACAAN SASTRA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar